2007/11/04

MENYAMBUT 1 ABAD MUHAMMADIYAH


REFLEKSI “JELANG 1 ABAD MUHAMMADIYAH”
Oleh Naga Sakti*

Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.

Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.

Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.

Disamping memberikan kegiatan kepada laki-laki, pengajian kepada ibu-ibu dan anak-anak, beliau juga mendirikan sekolah-sekolah. Tahun 1913 sampai tahun 1918 beliau telah mendirikan sekolah dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919 mendirikan Hooge School Muhammadiyah ialah sekolah lanjutan. Tahun 1921 diganti namnaya menjadi Kweek School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah menjadi dua, laki-laki sendiri perempuan sendiri, dan akhirnya pada tahun 1930 namnaya dirubah menjadi Mu`allimin dan Mu`allimat.
Muhammadiyah mendirikan organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama 'Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya (http://www.muhammadiyah.or.id/ ).

Di wal berdirinya, banyak yang mencaci, memaki, dan bahkan mengatakan Muhammadiyah adalah aliran sesat. Ditertawakan karena melaksanakan sholat Ied di lapangan, dibilang sinting karena mengadakan ceramah dan rapat dalam bahasa Indonesia. Dalam kehadirannya yang banyak disambut dengan makian, hinaan (ujian) pada saay awalnya, harusnya warga Muhammadiyah yang ada sekarang ini bisa lebih menghidupkan Muhammadiyah. Bukannya malah ”memakan” Muhammadiyah. Muhammadiyah sudah berumur hampir satu abad (95 tahun pada 18 November 2007), namun pertanyaan besar saat ini untuk Muhammadiyah adalah kenapa kebesaran Muhammadiyah yang dulu, sekarang malah makin merosot. Bahkan, banyak amal-usaha Muhammadiyah yang sekarang terpaksa ditutup, mesjid-mesjid Muhammadiyah yang kemudian dikelola oleh lain kelompok, karena ditelantarkan.

Pada tahun 1990-an, banyak orang yang berkunjung ke Indonesia merasa heran dengan pergerakan Muhammadiyah saat itu. Mereka sering bertanya bagaimana bisa Muhammadiyah mengelola begitu banyaknya sekolah-sekolah Muhammadiyah, PTM, serta amal usaha lainnya seperti Rumah Sakit Muhammadiyah yang hampir bisa ditemukan disetiap kota Provinsi di Indonesia.

Sekarang, kebanggaan Muhammadiyah itu banyak yang menghilang. Bahkan, banyak diantara mereka yang dulu bergerak di Muhammadiyah, kini mulai meninggalkan Muham-madiyah.Seperti disebutkan oleh Khaedar Nashir Memang jika dibandingkan pada masa dulu perjuangan Muhammadiyah sekarang ini, jauh lebih berat. Jika dulu Muhammadiyah sering mendapat hambatan dari luar dirinya, sekarang hambatan yang paling berat datang dari warga Muhammadiyah itu sendiri (termasuk Ortomnya, terlebih khususnya IMM). Melawan diri sendiri memang adalah hal yang syarat akan dengan tantangan besar.

Menurut Khaedar Nashir, ada tujuh yang mendasari keterbelakangan Muham-madiyah saat ini :(1) terlambat atau tidak meningkatkan kualitas dan intensitas pengelolaan masjid dan amal usaha secara optimal dan secara lebih baik;(2) abai atau lalai dalam menjaga milik sendiri;(3) tidak selektif dalam menerima anggota atau mereka yang bekerja di amal usaha dan kurang pembinaan;(4) kurang atau tidak memiliki militansi yang tinggi, berkiprah apa adanya, dan berbuat sendiri-sendiri atau sibuk sendiri tanpa terkait dengan kepentingan Muhammadiyah;(5) lebih tertarik pada urusan politik dan hal-hal yang bersifat mobilitas diri serta tidak peduli pada kepentingan dakwah dan menggerakkan Muhammadiyah; (6) kurang solid dan konsolidasi gerakan;(7) kurang/lemah komitmen, pemahaman, dan pengkhidmatan terhadap misi serta kepentingan Persyarikatan (http://immunnes.blogspot.com/2006/12/membangkitkan-dinamika-internal.html). Jika boleh saya berpendapat ini hanyalah masalah ketauhidan yang melemah diantara warganya, masalah yang kelihatan sepele, namun implementasi dari itu sangat besar. Jika ketauhidan-nya sudah mantap pasti keikhlasannya juga akan kuat, keikhlasannya pun dalam beribadah dan beramal akan lebih mantap (ajaran dasar Islam “Muhammadiyah”).
Namun, ketuhidan itu sekarang semakin menghilang saja . Jika demikin, tak perlu diherankan lagi jika banyak diantara mereka yang tergoda dengan hal-hal yang “pragmatis“, seperti yang disebutkan oleh Khaedar diatas yang akhirnya membawa bencana kepada Muhammadiyah. Muhammadiyah (termasuk Ortomnya, terlebih IMM) hanyalah sarana perluasan link untuk kehidupannya, batu loncatan untuk karirnya, prestise yang sangat membanggakan untuknya, . Mereka mengelola amal-usaha seolah merasa itu adalah miliknya.

Jika keikhlasan itu sudah ada, maka tidak akan ada orang Muhammadiyah yang mau “memakan” Muhammadiyah itu sendiri. Namun bagaimana menghidupkan itu kembali. Menurut penulis, karena ini adalah masalah yang sederhana, maka dihadapi dengan kesederhanaan pula.

Akhirnya, untuk membangun Muhammadiyah kita adalah kembali pada kita sendiri (intropeksi diri). Keikhlasan itu muncul jika ada keinginan yang kuat dalam diri kita masing-masing, sebagai warga yang berjuang dalam garis kemuhammadiyahan. Meninggalkan Muhammadiyah bukanlah suatu solusi untuk mengatasi masalah yang ada saat ini, malah itu tidak lebih suatu penghiatan, yang sama dengan orang yang lari dari perang.
*Penulis adalah Mahasiswa Antropologi FISIP – USU,
Kabid Hikmah PK IMM USU (2006-2007
)